Gatal ayam


Dulu. Duluuuu banget, saya percaya kalau nantinya, neraka isinya lebih banyak wanita, dan para wanita laknat itu bakal di tojos besi panas dari pant** sampe kepala. Horror deh pokokmen. Dulu juga saya percaya Tuhan gampang banget marah, dan sebentar-sebentar mengirimkan laknat lewat bencana alam. Dulu juga saya percaya kalau ada orang-orang yang bakal pindah agama demi sekardus mi instant. Masih dulu juga, beberapa kali seminggu saya belajar mengaji ke seorang imam masjid.

Itu dulu, waktu saya masih kecil. Waktu saya masih mengimani bahwa tandanya orang mati masup surga kalau pas di kubur keluar cahaya dari makamnya, walaupun belum pernah sekalipun saya menghadiri langsung pemakaman. Waktu saya belum belajar konsep tektonik lempeng. Waktu guru ngaji saya masih beristri satu dan waktu saya masih berpikir, lebih penting jago baca ayat pakai nada yang meliuk-liuk ketimbang memahami esensinya. Waktu saya masih diam saja, walaupun nggak ngerti kenapa guru agama saya, mengakfir-kafirkan teman yang beragama Buddha di depan batang hidungnya si teman. Eh, dan *corrected, sekali lagi: waktu saya masih kecil, naif dan bodoh (bukan juga berarti sekarang saya pinter yah).

Jadi keinget masa-masa jahiliyah ini gara-gara renungan ayam. Yaks, soal ayam ini sudah saya alami sejak tahun 2009, tapi baru sekarang saya berani publikasi isi kepala saya. Ternyata berubah posisi koordinat di bumi ke negara yang kebetulan bukan di dominasi oleh orang Islam membawa masalah tersendiri. Dalam rangka menjalani Islam yang (betul-betul) kaffah, ayam sudah naik derajatnya menjadi salah satu parameter kadar keimanan seseorang. Yoi, ternyata kita bisa melihat apakah seseorang benar-benar beriman apa nggak cuma dari ayam yang dimakan. Ada label halalnya apa nggak. Yes! As simple as that. Ayam can be a simple cheap yet effective device to probe someone’s faith.

Saya nggak akan mbahas kontroversi ayam (dan kontroversi religius lainnya) disini. Saya nggak mau jadi dungu dengan melibatkan diri dalam diskusi yang nggak akan pernah dimenangkan oleh orang yang baunya tidak beriman seperti saya. Saya nggak mau ikutan saling lempar ayat, sunnah dan hadis, karena saya nggak akan benar dihadapan orang religius. Saya cuma nggak mau keyakinan saya terkebiri oleh rasa takut di hakimi oleh orang lain. Dan yang paling mengerikan, kalau sampai otak saya berhenti berpikir.

Sekarang sudah bukan dulu. Oke. Sebaiknya kita berkenalan ulang: saya tidak berjilbab karena menurut saya jilbab itu simbol hegemoni laki-laki terhadap perempuan, pacar saya katolik, saya suka anjing lebih daripada kucing, saya yakin semua manusia tidak peduli apapun ras dan agamanya (tanpa harus jadi sesama muslim) adalah bersaudara, dan saya tidak memandang rendah pada Tuhan dengan tidak meyakini hanya orang Islam yang bisa masup surga.

Sudah ya, saya mau pengajian di sini dan di sini dulu. Situ yang baca nggak harus ngerti kok, saya bikin tulisan ini juga bukan untuk di mengerti orang lain. Saya cuma punya gatal yang harus digaruk.

Salam gatal ayam.

Diterbitkan oleh earthworm

a homo sapiens from the future

2 tanggapan untuk “Gatal ayam

  1. quote
    ternyata kita bisa melihat apakah seseorang benar-benar beriman apa nggak cuma dari ayam yang dimakan. Ada label halalnya apa nggak.
    unquote

    hahaha…bener banget. kok jadi rasa parno ya di negeri orang. padahal gak pernah mikir gitu waktu beli mi ayam bakso atau ayam goreng K*F di negara sendiri.

    peningkatan kadar iman atau rasisme??? saya harap yang pertama.

    kalo saya. yang penting tulisannya ayam 100% = makan

  2. Hahaha, yak tul. Kemungkinan memang yang pertama sih buat banyak orang. Salut juga sama mereka yang bisa bertahan dengan cara hidup gitu.

    Setuju! Selama itu 100 % ayam sikat aja. Insyallah halal.

Tinggalkan Balasan ke capi Batalkan balasan